Blog ini adalah blog kenangan dari kelasku, GEZONE..
Blog untuk berbagi ilmu, berbagi cerita, berbagi banyak hal untuk kita semua ^_^
Love U.... ~~~ Nena ~~~

Rabu, 03 Juli 2013

Trafficking, akankah terus menjadi ancaman?


    Arus kapitalisme yang berjalan beriringan dengan globalisasi, mengantarkan manusia menjadi matrealistis. Tak dapat disangkal, bahwa industrialisasi sebagai salah satu cirinya menunjukkan perkembangan yang semakin pesat..Dalam kehidupan sekularisme yang menafikan halal dan haram,meniscayakan berkembangnya bisnis prostitusi,pornografi,narkoba yang oleh sebagian orang dijadikan jalan pintas untuk mencari keuntungan dan dianggap sebagai komoditas ekonomi. Di tengah kondisi ekonomi yang sulit dan tuntutan hidup ,rakyat harus berjuang keras sekedar mempertahankan hidup, termasuk perempuan yang sangat rentan terhadap komoditisasi, termasuk menjadi korban trafficking atau perdagangan manusia.

Jawa barat yang tercatat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, ternyata  juga menduduki posisi teratas kasus perdagangan orang atau human trafficking. Menurut Pusat Pemberdayaan Perlindungan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jabar, angka trafficking terbesar di Indonesia terdapat di Jawa Barat sementara kedua tertinggi di Kalimantan Barat. (www.bisnis-jabar.com). Berdasarkan catatan Bareskrim Mabes Polri tahun 2005-2009, di Jawa Barat telah terjadi 794 kasus traficking, disusul Kalimantan Barat dengan 711 kasus. Sedangkan Ketua P2TP2A Jabar Netty Prasetyani Heryawan mengatakan, semenjak badan P2TP2A dibentuk, korban trafficking di Jabar sudah mencapai 274 korban. Menurutnya, wilayah Bandung memiliki jumlah terbanyak daripada wilayah lainnya yang ada di Jabar. Bandung telah menjadi destinasi favorit bagi mafia trafficking untuk menggaet korban. Beberapa kasus trafficking di wilayah kabupaten Bandung, diantaranya menimpa ibu belia warga Kp Pasung Kec. Katapang, sedangkan 6 orang korban trafficking di Baleendah, yang hendak di bawa ke Jambi dan Palembang dapat digagalkan oleh Kapolsek Baleendah dan berhasil diamankan. Lantas mengapa hal ini terus terjadi?

Penyebab Kasus Trafficking
Menurut Ketua P2TP2A Jabar Netty Prasetyani Heryawan dan Ganiwati (KETUA Kaukus Parlemen Perempuan [KPP] DPRD Jabar ) penyebab terjadinya kasus trafficking diantaranya karena faktor ekonomi, pendidikan, budaya, dan lemahnya hukum.  (www.bisnis-jabar.com)
Faktor ekonomi, yaitu berupa kemiskinan yang berimplikasi pada rendahnya pendidikan dan tingginya pengangguran. Sedangkan dari faktor budaya, menempatkan perempuan sebagai survivor untuk mengatasi kemiskinan keluarga, disamping adanya hubungan kekuasaan yang tumpang tindih antara laki-laki dan perempuan yang membuat perempuan dalam posisi tertekan secara fisik dan psikologis sehingga mudah dimanfaatkan (budaya patriarkhi). Dari sisi hukum, yaitu sistem penegakan hukum yang tidak adil, tidak tegas, dan inkonsisten. Meskipun sudah ada UU No 27/2000 tentang Pemberantasan Perdagangan Manusia, bahkan khusus untuk Provinsi Jabar, diperkuat dengan Perda No 3/2008 tentang Pencegahan dan Penanganan, namun masih sangat lemah dalam penerapannya.
Sampai saat ini faktor ekonomi memang masih menjadi faktor utama dalam terjadinya kasus trafficking ini,  kemiskinan memang mempunyai dampak yang begitu mengerikan, dapat memicu manusia untuk halalkan segala cara demi menyambung hidup.  Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 29,13 juta orang pada Maret 2012 (http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan_02jul12.pdf). Sedangkan data BPS tahun lalu menyebutkan ada lebih dari 37 juta perempuan mikin di Indonesia, dan hampir setiap tahun 2,5 juta TKW terpaksa meninggalkan anak dan keluarganya demi keluar dari kemiskinan. Inilah fakta yang membuktikan bahwa perempuan Indonesia saat ini, hidup dalam kondisi miskin, tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dan jauh dari kesejahteraan. Kehidupan yang miskin itulah memaksa kaum perempuan untuk bekerja membanting tulang mencari nafkah keluarga, bahkan tak jarang membuat mereka menjadi korban dari trafficking. Sayangnya solusi yang ditawarkan selama ini,misalnya melalui Pemberdayan ekonomi perempuan (PEP) yang digulirkan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan, dan di Jabar ditegaskan oleh Ketua P2TP2A Jabar Netty Prasetyani Heryawan tentunya menurut perspektif gender, tidak mampu menyelesaikan persoalan trafficking. Buktinya sampai saat ini persoalan ini terus meningkat. Lalu apakah sebenarnya yang menjadi akar persoalan dari trafficking ini?  dan bagaimana solusinya dalam Islam?

Sistem Kapitalis-Sekular : Akar masalah maraknya Trafficking
Sesungguhnya faktor utama kasus perdagangan perempuan ini tidak lepas dari carut marutnya sistem kehidupan yang diterapkan, yaitu sistem kapitalis secular. Sistem kapitalis-sekular yang menafikan peran agama dalam mengurusi kehidupan, sejatinya telah meghancurkan kehidupan manusia karena tegak diatas asas yang rusak.
            Faktor-faktor diatas yang dianggap sebagai penyebab trafficking ini, sebenarnya hanya sebagian kecil dari keboborokan sistem ini. Kemiskinan misalnya, adalah hal yang lumrah terjadi pada sistem kapitalis. Kemiskinan yang menggejala, adalah akibat kesalahan sistem yang digunakan negara untuk mengatur rakyat. Karenanya,kemiskinan yang terjadi adalah kemiskinan struktural, bukan kemiskinan cultural yang lebih disebabkan kurang SDA, lemahnya SDM, kemalasan, atau faktor budaya. Terlebih, kemiskinan struktural merupakan sebuah keniscayaan dari diterapkannya sistem ekonomi Kapitalis yang tegak atas asas yang salah, diantaranya
1.        Kebebasan hak milik
Dalam Sistem ekonomi kapitalis seluruh harta kekayaan diserahkan pada mekanisme sistem pasar bebas. Bebas dari sisi kepemilikan, bebas dari sisi pemanfaatan kepemilikan dan bebas dari sisi pengembangan kepemilikan. Siapapun berhak memiliki aset-aset yang berjumlah besar karena tidak ada batasan kepemilikan. Tidak ada pembatasan-pembatasan seperti mengenai mana yang berhak dimiliki individu, mana yang menjadi hak publik dan mana yang berhak dikuasai oleh negara berikut aturan pengelolaannya. Akibatnya praktek-praktek monopoli dan korporasi menjadi wajar terjadi, siapa yang memiliki banyak modal, dia yang berkuasa, bahkan harta milik rakyat pun bisa dirampas,  sebagaimana terjadi atas perusahaan-perusahaan tambang Indonesia yang habis dikuasai kapitalis dan negara asing, berikut segelintir kapitalis lokal. Sementara rakyat banyak  sebagai pemilik sah kekayaan alam tersebut harus menderita karena untuk menikmatinya mereka harus membayar dengan harga yang sangat mahal.

2.        Tolak ukur pembangunan bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, padahal hal ini tidak mencerminkan pemerataan kesejahteraan.
 Kapitalisme berpandangan  bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas sedangkan benda/barang/alat pemuas kebutuhan jumlahnya terbatas. Inilah yang kemudian dianggap sebagai masalah ekonomi menurut kapitalisme. Dalam praktisnya, system ini akhirnya sangat fokus dalam upaya meningkatkan produksi setinggi-tingginya seraya menilai tingkat kesejahteraan semata pada tingkat pertumbuhan ekonomi dalam tataran makro-agregat (rata-rata) dengan mengabaikan pemenuhan kebutuhan orang per orang atau mengabaikan pemerataan dan keadilan. Padahal faktanya, yang menjadi problem ekonomi bukanlah kelangkaan, melainkan masalah distribusi untuk menjamin pemenuhan kebutuhan secara orang per orang hingga kesejahteraan dirasakan oleh setiap individu tanpa kecuali. Sehingga  dalam sistem kapitalis, kemiskinan yang nyata bersembunyi di balik angka-angka.

3.        Pemerintah meminimalisir perannya dalam pengaturan rakyat, sehingga peran dan tanggung jawab negara telah hilang sebagai pemelihara rakyat. Negara hanya membatasi dalam pengawasan dan penegak hukum. Peran ini telah menghalangi dari tanggung jawab negara,sehingga pemeliharaan urusan rakyat diserahkan pada swasta, akibatnya dalam bidang ekonomi terjadi liberlisasi ekonomi. Bidang kesehatan dan pendidikan misalnya yang seharusnya  merupakan tanggung jawab negara, menjadi komoditas ekonomi yang dikembalikan pada pasar bebas.
Dalam tataran kebijakan, prinsip-prinsip di atas juga telah membawa efek buruk langsung kepada masyarakat. Kebijakan ekonomi yang diterapkan misalnya, lebih banyak bertumpu pada pertumbuhan sektor non riil (seperti sektor perbankan dan keuangan ribawi) yang bukan saja tidak bisa mendorong peningkatan lapangan kerja, tapi malah beresiko tinggi menimbulkan krisis ekonomi yang mengganggu pertumbuhan sektor ril dengan banyaknya perusahaan yang gulung tikar dan menyebabkan PHK besar-besaran, serta berupa pengelolaan sumberdaya alam yang salah yang menguntungkan sebagian kecil kelompok saja. Akibatnya mayoritas masyarakatlah yang harus menanggung resikonya; terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan tak berujung pangkal.
Adapun faktor budaya, jika ditelusuri sistem pulalah yang telah membentuknya dalam rentang waktu yang sangat panjang. Artinya, banyaknya perempuan yang menjadi korban bukan semata-mata karena mereka perempuan, tetapi sistemlah yang mengkondisikan demikian. Terlebih jika dicermati, apa yang menimpa perempuan seperti kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, dan lain-lain justru menjadi potret bersama mayoritas masyarakat dimanapun, bukan karena faktor budaya semata, apalagi agama. Sehingga solusi yang ditawarkan dengan menggunakan sudut pandang gender tidak akan menyelesaikan masalah, karena persoalan yang selama ini di klaim sebagai masalah perempuan seringkali membuat persoalan justru menjadi bias. Alih-alih mampu menyelesaikan masalah secara tuntas, namun malah muncul masalah baru. Padahal jelas, persoalan yang dihadapai adalah permasalahan masyarakat secara umum, dimana akibat dari diterapkannya sistem kapitalisme.
Sedangkan dari sisi hukum, Sebenarnya ada hal paradigmatik yang harus diselesaikan dalam sistem hukum kita, baik yang terkait dengan produk hukum, penegak hukum maupun sistem peradilan dan sanksinya. Karena sebagaimana aspek yang lainnya, sistem hukum kitapun lahir sebagai derivasi sistem kapitalisme yang tegak di atas asas sekularisme yang rusak. Karena asas ini menolak campur tangan Tuhan (agama) dalam mengatur kehidupan, maka dalam sistem ini, hukum diserahkan pembuatannya kepada manusia dengan akalnya yang serba lemah dan terbatas. Terlebih sejak awal, pembuatannyapun memang hanya ditujukan untuk mengukuhkan terlaksananya aturan main kehidupan ala kapitalisme, yang sekalipun secara konsep mengenal prinsip keadilan, kesetaraan di hadapan hukum, dan lain sebagainya, tetapi tetap mendefinisikan prinsip-prinsip tersebut dalam konteks keadilan dan kesetaraan versi kapitalisme yang –lagi-lagi—sejatinya memihak pada kepentingan para kapitalis. Wajar jika yang terjadi adalah ketidakadilan-ketidakadilan dan hegemoni minoritas (kapitalis) atas mayoritas. Sehingg produk hukum yang ada tidak akan mmpu menyelesaikan persolan ini.
Walhasil, maraknya perdagangan perempuan sebenarnya bukan hasil akibat dari kemiskinan, budaya, dan hukum semata, melainkan lebih bersifat sistemik, yakni akibat diterapkannya sistem kapitalisme. Sehingga solusinya adalah mencampakan sistem kapitalisme, dan diganti dengan sistem Islam.

Islam  Solusi Persoalan Trafficking
Islam merupakan sistem kehidupan yang berasal dari aqidah, aturan yang dibuat oleh Rabb pencipta alam, yang mengetahui mana yang terbaik untuk makhlukNya. Ketika Islam diterapkan secara kaffah dalam semua aspek kehidupan, baik politik,ekonomi,sosial, pendidikan,kesehatan,dan yang lainnya maka islam akan menjadi solusi yang solutif terhadap berbagai permasalahan manusia keseluruhan. Dengan standar halal dan haram yang jelas, bisa dipastikan bahwa masyarakat yang menerapkan syariat Islam secara utuh akan menjadi masyarakat yang bersih, sehat dan sejahtera. Kalaupun ada kemaksiatan, maka hanya akan bersifat kasuistik saja dan bukan menjadi potret buram seperti saat ini. Setiap orang, tanpa kecuali, akan terlindungi hak-haknya. Begitupun kaum perempuan akan terjaga kehormatannya. Sehingga, kasus-kasus komoditisasi perempuan yang merebak saat ini. Hal ini karena apa yang tadi disebut-sebut sebagai faktor resiko terjadinya trafiking juga tidak akan muncul dalam sistem masyarakat yang menerapkan Islam yakni Daulah Khilafah Islamiyah, sebagaimana telah terbukti di masa lalu
 Sebagai gambaran, tatkala negara menerapkan sistem politik ekonomi Islam, maka kebutuhan dasar setiap warga negara, yang merupakan kebutuhan pokok (hajatul asasiyah) seperti pangan, sandang dan papan,juga hak-hak warga negara berupa pendidikan, kesehatan dan keamanan akan terpenuhi dengan baik. Hal ini karena sistem politik ekonomi Islam tegak di atas beberapa prinsip yang benar diantaranya
1.        Konsep kepemilikan yang jelas
Islam membagi kepemilikan harta atas tiga; kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Dalam hal ini negara adalah pihak yang melindungi dan menjaga ketiga jenis kepemilikan itu sesuai dengan hukum-hukum syara’. Terkait dengan kepemilikan umum, Islam mengharamkan penguasaannya oleh individu maupun oleh negara. Islam justru mewajibkan kepada negara untuk memastikan agar harta milik umum ini betul-betul bisa dinikmati untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dengan cara mengelolanya dengan sebaik-baiknya melalui kegiatan eksplorasi, penjualan maupun distribusi.
2.        Problem ekonomi bukan kelangkaan barang, tapi distribusi
Distribusi kekayaan dan kemakmuran di dalam masyarakat adalah faktor kritis dalam menentukan kecukupan sumberdaya bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itulah Islam menganggap problem ekonomi bukanlah pada kelangkaan barang, tetapi distribusi barang/jasa lah yang menjadi problem utama ekonomi. Sehingga dengan dalam Islam ada jaminan distribusi secara merata kepaa setiap individu dalam mendapatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
                                                   
3.      Optimalisasi peran negara dalam pengaturan urusan umat
Negara, dalam hal ini Khilafah, mengoptimalkan perannya sebgai penanggungjawab pengaturan urusan umat, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun dalam fungsi pengawasan dan penegakkan sistem  hukumnya. Dalam bidang ekonomi, pengelolaan kekayaaan milik umum dilakukan oleh negara sebagai wakil umat, sedangkan hasilnya digunakan untuk kemakmuran rakyat...
Negara dalam hal ini berkewajiban menerapkan kebijakan-kebijakan yang memihak kepada kepentingan rakyat berdasarkan hukum syara, seperti menerapkan kebijakan yang mendorong investasi di sektor ril yang halal sehingga tersedia lapangan kerja yang cukup, menerapkan sistem distribusi kekayaan yang adil dan canggih, termasuk bagi kelompok masyarakat yang secara alamiah termiskinkan, menerapkan kebijakan moneter yang kokoh berdasarkan mata uang emas dan perak, melarang praktek kotor seperti monopoli, riba dan suap meyuap, mencegah ketergantungan kepada pihak asing., Berdasarkan paradigma ini Islam telah menetapkan politik ekonomi dan mekanisme ekonomi untuk menjamin kesejahteraan umat manusia, sekaligus menjamin kemajuan serta pertumbuhan yang berkeadilan.
Sebagai sistem yang holistic yang berkaitan erat dengan sistem yang lainnya, negara juga menerapkan sistem pendidikan Islam yang mampu melahirkan SDM berkualitas dan terjangkau oleh semua, menerapkan sistem sosial yang bersih, dan lain-lain. Dan untuk menjamin penegakkannya, negara juga wajib menerapkan sistem hukum Islam (sistem uqubat) yang tegas, adil dan konsisten berlandaskan ketaatan kepada Allah SWT sebagai Al-Hakim dan Al-Adil.
Terkait dengan sistem hukum Islam, tak sedikit orang yang meragukan kemampuannya dalam mengentaskan berbagai kriminalitas yang terjadi di masyarakat. Pandangan ini ‘wajar’, mengingat sistem hukum positif  yang kini diterapkan dimanapun tak ada yang mampu memberi solusi atas merebaknya kriminalitas. Sehingga yang perlu dipahami adalah, ada perbedaan mendasar antara sistem hukum positif dengan sistem hukum Islam. (1) Sistem hukum Islam bersumber dari Allah SWT, Dzat Yang Maha Tahu hakekat kebaikan dan keburukan, Dzat Yang Menciptakan Manusia secara keseluruhan, Dzat Yang Maha Adil dan Bijaksana, bukan berasal dari hasil daya pikir manusia yang lemah. Karenanya, dipastikan bahwa sistem hukum ini bisa menjadi solusi atas seluruh permasalahan –termasuk perdagangan perempuan--, bersifat tetap dan pasti, serta memiliki perspektif yang menjamin keadilan bagi siapapun, bukan hanya untuk laki-laki atau perempuan. (2) Sistem hukum Islam hanya berpihak pada kebenaran dan keadilan, karena pelaksanaannya tegak di atas landasan taqwa, bukan kepentingan pihak bermodal. (3) Hukum Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegah merebaknya kejahatan karena sanksi yang sangat berat[1]) dan jawabir (penebus dosa, sehingga tercegah dari siksa akhirat), sementara sistem hukum positif –secara teoritis-- hanya berfungsi sebagai pencegah saja, meski faktanya telah gagal mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran.
Khatimah
Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat mulai melirik dan beralih kepada sistem yang telah terbukti selama belasan abad berhasil menjamin kesejahteraan hakiki dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Yakni sistem yang ditawarkan Islam yang menjadi satu-satunya versus bagi kapitalisme-sekulerisme-liberalisme yang telah terbukti rusak, dan justru menjadi sebab mendasar dari berbagai kejahatan terhadap wanita (trafficking).
Inilah arah perubahan yang seharusnya diperjuangkan, termasuk oleh kalangan perempuan. Yakni mengajak masyarakat dan pemerintah untuk bersegera keluar dari sistem Kapitalisme yang tak menjanjikan apapun selain kerusakan. Kemudian kembali kepada sistem Islam yang dapat mensejahterakan dan melindungi kaum perempuan dari kasus trafficking. Semua itu dapat terwujud dengan tegaknya Daulah Khilafah ‘ala min haji nubuwwah. Wallahu’alam





Comments :

0 komentar to “Trafficking, akankah terus menjadi ancaman?”


Posting Komentar