Arus kapitalisme yang berjalan beriringan dengan
globalisasi, mengantarkan manusia menjadi matrealistis. Tak dapat disangkal,
bahwa industrialisasi sebagai salah satu cirinya menunjukkan perkembangan yang
semakin pesat..Dalam kehidupan sekularisme yang menafikan halal dan
haram,meniscayakan berkembangnya bisnis prostitusi,pornografi,narkoba yang oleh
sebagian orang dijadikan jalan pintas untuk mencari keuntungan dan dianggap
sebagai komoditas ekonomi. Di tengah kondisi ekonomi yang sulit dan tuntutan
hidup ,rakyat harus berjuang keras sekedar mempertahankan hidup, termasuk
perempuan yang sangat rentan terhadap komoditisasi, termasuk menjadi korban
trafficking atau perdagangan manusia.
Jawa barat yang tercatat sebagai provinsi dengan
jumlah penduduk terbesar di Indonesia, ternyata
juga menduduki posisi teratas kasus perdagangan orang atau human
trafficking. Menurut Pusat Pemberdayaan Perlindungan Terpadu
Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jabar, angka trafficking terbesar di Indonesia
terdapat di Jawa Barat sementara kedua tertinggi di Kalimantan Barat. (www.bisnis-jabar.com). Berdasarkan catatan Bareskrim Mabes Polri
tahun 2005-2009, di Jawa Barat telah terjadi 794 kasus traficking, disusul
Kalimantan Barat dengan 711 kasus. Sedangkan Ketua P2TP2A Jabar Netty
Prasetyani Heryawan mengatakan, semenjak badan P2TP2A dibentuk, korban
trafficking di Jabar sudah mencapai 274 korban. Menurutnya, wilayah Bandung
memiliki jumlah terbanyak daripada wilayah lainnya yang ada di Jabar. Bandung
telah menjadi destinasi favorit bagi mafia trafficking untuk menggaet korban. Beberapa
kasus trafficking di wilayah kabupaten Bandung, diantaranya menimpa ibu belia
warga Kp Pasung Kec. Katapang, sedangkan 6 orang korban trafficking di
Baleendah, yang hendak di bawa ke Jambi dan Palembang dapat digagalkan oleh
Kapolsek Baleendah dan berhasil diamankan. Lantas mengapa hal ini terus
terjadi?
Penyebab Kasus Trafficking
Menurut
Ketua P2TP2A Jabar Netty Prasetyani Heryawan dan Ganiwati
(KETUA Kaukus Parlemen Perempuan [KPP] DPRD
Jabar ) penyebab terjadinya kasus trafficking diantaranya
karena faktor ekonomi, pendidikan, budaya, dan lemahnya hukum. (www.bisnis-jabar.com)
Faktor ekonomi, yaitu berupa kemiskinan yang
berimplikasi pada rendahnya pendidikan dan tingginya pengangguran. Sedangkan
dari faktor budaya, menempatkan perempuan sebagai survivor untuk mengatasi
kemiskinan keluarga, disamping adanya hubungan kekuasaan yang tumpang tindih
antara laki-laki dan perempuan yang membuat perempuan dalam posisi tertekan
secara fisik dan psikologis sehingga mudah dimanfaatkan (budaya patriarkhi). Dari
sisi hukum, yaitu sistem penegakan hukum
yang tidak adil, tidak tegas, dan inkonsisten. Meskipun sudah ada UU No
27/2000 tentang Pemberantasan Perdagangan Manusia, bahkan khusus
untuk Provinsi Jabar, diperkuat dengan Perda No 3/2008 tentang Pencegahan dan
Penanganan, namun masih sangat
lemah dalam penerapannya.
Sampai
saat ini faktor ekonomi memang masih menjadi faktor utama dalam terjadinya
kasus trafficking ini, kemiskinan memang
mempunyai dampak yang begitu mengerikan, dapat memicu manusia untuk halalkan
segala cara demi menyambung hidup. Badan Pusat Statistik
(BPS) mengumumkan jumlah orang miskin di Indonesia
mencapai 29,13 juta orang pada Maret 2012 (http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan_02jul12.pdf). Sedangkan
data BPS tahun lalu menyebutkan ada lebih dari 37 juta perempuan mikin di
Indonesia, dan hampir setiap tahun 2,5 juta TKW terpaksa meninggalkan anak dan
keluarganya demi keluar dari kemiskinan. Inilah fakta yang membuktikan bahwa
perempuan Indonesia saat ini, hidup dalam kondisi miskin, tidak mampu memenuhi
kebutuhan pokoknya dan jauh dari kesejahteraan. Kehidupan yang miskin itulah
memaksa kaum perempuan untuk bekerja membanting tulang
mencari nafkah keluarga, bahkan tak jarang membuat mereka menjadi korban dari
trafficking. Sayangnya solusi yang ditawarkan selama ini,misalnya melalui
Pemberdayan ekonomi perempuan (PEP) yang digulirkan oleh Menteri Pemberdayaan
Perempuan, dan di Jabar ditegaskan oleh Ketua P2TP2A Jabar Netty Prasetyani Heryawan tentunya menurut perspektif gender, tidak
mampu menyelesaikan persoalan trafficking. Buktinya sampai saat ini persoalan
ini terus meningkat. Lalu apakah sebenarnya yang
menjadi akar persoalan dari trafficking ini?
dan bagaimana solusinya dalam Islam?
Sistem Kapitalis-Sekular
: Akar masalah maraknya Trafficking
Sesungguhnya faktor utama kasus perdagangan
perempuan ini tidak lepas dari carut marutnya sistem kehidupan yang diterapkan,
yaitu sistem kapitalis secular. Sistem kapitalis-sekular yang menafikan peran agama
dalam mengurusi kehidupan, sejatinya telah meghancurkan kehidupan manusia
karena tegak diatas asas yang rusak.
Faktor-faktor
diatas yang dianggap sebagai penyebab trafficking ini, sebenarnya hanya
sebagian kecil dari keboborokan sistem ini. Kemiskinan misalnya, adalah hal
yang lumrah terjadi pada sistem kapitalis. Kemiskinan yang menggejala, adalah
akibat kesalahan sistem yang digunakan negara untuk mengatur rakyat. Karenanya,kemiskinan
yang terjadi adalah kemiskinan struktural, bukan kemiskinan cultural yang lebih
disebabkan kurang SDA, lemahnya SDM, kemalasan, atau faktor budaya. Terlebih, kemiskinan
struktural merupakan sebuah keniscayaan dari diterapkannya sistem ekonomi
Kapitalis yang tegak atas asas yang salah, diantaranya
1.
Kebebasan
hak milik
Dalam Sistem ekonomi
kapitalis seluruh harta kekayaan diserahkan pada mekanisme sistem pasar bebas.
Bebas dari sisi kepemilikan, bebas dari sisi pemanfaatan kepemilikan dan bebas
dari sisi pengembangan kepemilikan. Siapapun berhak memiliki aset-aset yang
berjumlah besar karena tidak ada batasan kepemilikan. Tidak
ada pembatasan-pembatasan seperti mengenai mana yang berhak dimiliki individu,
mana yang menjadi hak publik dan mana yang berhak dikuasai oleh negara berikut
aturan pengelolaannya. Akibatnya praktek-praktek monopoli dan korporasi menjadi
wajar terjadi, siapa yang memiliki banyak modal, dia yang berkuasa, bahkan
harta milik rakyat pun bisa dirampas,
sebagaimana terjadi atas perusahaan-perusahaan tambang Indonesia yang
habis dikuasai kapitalis dan negara asing, berikut segelintir kapitalis lokal. Sementara rakyat
banyak sebagai pemilik sah kekayaan alam
tersebut harus menderita karena untuk menikmatinya mereka harus membayar dengan
harga yang sangat mahal.
2.
Tolak ukur
pembangunan bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, padahal hal ini tidak
mencerminkan pemerataan kesejahteraan.
Kapitalisme
berpandangan bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas
sedangkan benda/barang/alat pemuas kebutuhan jumlahnya terbatas. Inilah yang
kemudian dianggap sebagai masalah ekonomi
menurut kapitalisme. Dalam praktisnya, system ini akhirnya sangat fokus
dalam upaya meningkatkan produksi setinggi-tingginya seraya menilai tingkat kesejahteraan semata pada
tingkat pertumbuhan ekonomi dalam tataran makro-agregat (rata-rata) dengan
mengabaikan pemenuhan kebutuhan orang per orang atau mengabaikan pemerataan dan
keadilan. Padahal faktanya, yang menjadi problem ekonomi bukanlah kelangkaan,
melainkan masalah distribusi untuk menjamin pemenuhan kebutuhan secara orang
per orang hingga kesejahteraan dirasakan oleh setiap individu tanpa kecuali.
Sehingga dalam sistem kapitalis,
kemiskinan yang nyata bersembunyi di balik angka-angka.
3.
Pemerintah
meminimalisir perannya dalam pengaturan rakyat, sehingga peran dan tanggung
jawab negara telah hilang sebagai pemelihara rakyat. Negara hanya membatasi
dalam pengawasan dan penegak hukum. Peran ini telah menghalangi dari tanggung
jawab negara,sehingga pemeliharaan urusan rakyat diserahkan pada swasta,
akibatnya dalam bidang ekonomi terjadi liberlisasi ekonomi. Bidang kesehatan
dan pendidikan misalnya yang seharusnya
merupakan tanggung jawab negara, menjadi komoditas ekonomi yang
dikembalikan pada pasar bebas.
Dalam tataran kebijakan, prinsip-prinsip di atas
juga telah membawa efek buruk langsung kepada masyarakat. Kebijakan ekonomi
yang diterapkan misalnya, lebih banyak bertumpu pada pertumbuhan sektor non riil (seperti sektor perbankan dan keuangan
ribawi) yang bukan saja tidak bisa mendorong peningkatan lapangan kerja, tapi
malah beresiko tinggi menimbulkan krisis ekonomi yang mengganggu pertumbuhan sektor ril dengan banyaknya
perusahaan yang gulung tikar dan menyebabkan PHK besar-besaran, serta berupa pengelolaan sumberdaya alam
yang salah yang menguntungkan sebagian kecil kelompok saja. Akibatnya mayoritas
masyarakatlah yang harus menanggung resikonya; terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan tak
berujung pangkal.
Adapun faktor budaya, jika ditelusuri sistem
pulalah yang telah membentuknya dalam rentang waktu yang sangat panjang. Artinya, banyaknya perempuan yang
menjadi korban bukan semata-mata karena mereka perempuan, tetapi sistemlah yang
mengkondisikan demikian. Terlebih jika dicermati, apa yang menimpa perempuan
seperti kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, dan lain-lain justru menjadi
potret bersama mayoritas masyarakat dimanapun, bukan karena faktor budaya
semata, apalagi agama. Sehingga solusi yang ditawarkan dengan
menggunakan sudut pandang gender tidak akan menyelesaikan masalah, karena
persoalan yang selama ini di klaim sebagai masalah perempuan seringkali membuat
persoalan justru menjadi bias. Alih-alih mampu menyelesaikan masalah secara
tuntas, namun malah muncul masalah baru. Padahal jelas, persoalan yang
dihadapai adalah
permasalahan masyarakat secara umum, dimana akibat dari diterapkannya sistem
kapitalisme.
Sedangkan dari sisi hukum, Sebenarnya ada hal paradigmatik yang harus
diselesaikan dalam sistem hukum kita, baik yang terkait dengan produk hukum,
penegak hukum maupun sistem peradilan dan sanksinya. Karena sebagaimana aspek
yang lainnya, sistem hukum kitapun lahir sebagai derivasi sistem kapitalisme yang tegak di atas asas sekularisme
yang rusak. Karena asas ini menolak campur tangan Tuhan (agama) dalam mengatur
kehidupan, maka dalam sistem ini, hukum diserahkan pembuatannya kepada manusia
dengan akalnya yang serba lemah dan terbatas. Terlebih sejak awal,
pembuatannyapun memang hanya ditujukan untuk mengukuhkan terlaksananya aturan
main kehidupan ala kapitalisme, yang
sekalipun secara konsep mengenal prinsip keadilan, kesetaraan di hadapan hukum,
dan lain sebagainya, tetapi tetap mendefinisikan prinsip-prinsip tersebut dalam
konteks keadilan dan kesetaraan versi kapitalisme yang –lagi-lagi—sejatinya
memihak pada kepentingan para kapitalis. Wajar jika yang terjadi adalah
ketidakadilan-ketidakadilan dan hegemoni minoritas (kapitalis) atas mayoritas. Sehingg produk hukum yang ada
tidak akan mmpu menyelesaikan persolan ini.
Walhasil, maraknya perdagangan perempuan
sebenarnya bukan hasil akibat dari kemiskinan, budaya, dan hukum semata,
melainkan lebih bersifat sistemik, yakni akibat diterapkannya sistem
kapitalisme. Sehingga solusinya adalah mencampakan sistem kapitalisme, dan
diganti dengan sistem Islam.
Islam Solusi Persoalan Trafficking
Islam merupakan sistem kehidupan yang berasal dari
aqidah, aturan yang dibuat oleh Rabb pencipta alam, yang mengetahui mana yang
terbaik untuk makhlukNya. Ketika Islam diterapkan secara kaffah dalam semua
aspek kehidupan, baik politik,ekonomi,sosial, pendidikan,kesehatan,dan yang
lainnya maka islam akan menjadi solusi yang solutif terhadap berbagai permasalahan
manusia keseluruhan. Dengan standar halal dan haram yang jelas, bisa
dipastikan bahwa masyarakat yang menerapkan syariat Islam secara utuh akan
menjadi masyarakat yang bersih, sehat dan sejahtera. Kalaupun ada kemaksiatan,
maka hanya akan bersifat kasuistik saja dan bukan menjadi potret buram seperti
saat ini. Setiap orang, tanpa kecuali, akan terlindungi hak-haknya. Begitupun
kaum perempuan akan terjaga kehormatannya. Sehingga, kasus-kasus komoditisasi
perempuan yang merebak saat ini. Hal ini karena apa yang tadi disebut-sebut sebagai faktor resiko
terjadinya trafiking juga tidak akan muncul dalam sistem masyarakat yang
menerapkan Islam yakni Daulah Khilafah Islamiyah, sebagaimana telah terbukti di
masa lalu
Sebagai gambaran, tatkala negara menerapkan sistem politik ekonomi Islam,
maka kebutuhan dasar setiap warga negara, yang merupakan kebutuhan pokok
(hajatul asasiyah) seperti pangan, sandang dan papan,juga
hak-hak warga negara berupa pendidikan,
kesehatan dan keamanan akan terpenuhi dengan baik. Hal ini karena sistem
politik ekonomi Islam tegak di atas beberapa prinsip yang benar
diantaranya
1.
Konsep kepemilikan yang jelas
Islam membagi
kepemilikan harta atas tiga; kepemilikan individu, kepemilikan umum dan
kepemilikan negara. Dalam hal ini negara adalah pihak yang melindungi dan
menjaga ketiga jenis kepemilikan itu sesuai dengan hukum-hukum syara’. Terkait
dengan kepemilikan umum, Islam mengharamkan penguasaannya oleh individu maupun
oleh negara. Islam justru mewajibkan kepada negara untuk memastikan agar harta
milik umum ini betul-betul bisa dinikmati untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat, dengan cara mengelolanya dengan sebaik-baiknya melalui kegiatan
eksplorasi, penjualan maupun distribusi.
2.
Problem ekonomi bukan
kelangkaan barang, tapi distribusi
Distribusi kekayaan dan kemakmuran di
dalam masyarakat adalah faktor kritis dalam menentukan kecukupan sumberdaya
bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itulah Islam menganggap problem ekonomi bukanlah pada kelangkaan barang, tetapi distribusi
barang/jasa lah yang menjadi problem utama ekonomi. Sehingga dengan
dalam Islam ada jaminan distribusi secara merata kepaa setiap individu dalam
mendapatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
3. Optimalisasi peran negara dalam pengaturan urusan
umat
Negara, dalam hal ini
Khilafah, mengoptimalkan perannya sebgai penanggungjawab pengaturan urusan
umat, baik
dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun dalam fungsi pengawasan dan
penegakkan sistem hukumnya. Dalam
bidang ekonomi,
pengelolaan kekayaaan
milik umum dilakukan oleh negara sebagai wakil
umat, sedangkan hasilnya digunakan
untuk kemakmuran rakyat...
Negara dalam hal ini berkewajiban menerapkan kebijakan-kebijakan yang
memihak kepada kepentingan rakyat berdasarkan hukum syara, seperti menerapkan
kebijakan yang mendorong investasi di sektor ril yang halal sehingga tersedia
lapangan kerja yang cukup, menerapkan sistem distribusi kekayaan yang adil dan
canggih, termasuk bagi kelompok masyarakat yang secara alamiah termiskinkan, menerapkan
kebijakan moneter yang kokoh berdasarkan mata uang emas dan perak, melarang
praktek kotor seperti monopoli, riba dan suap meyuap, mencegah ketergantungan
kepada pihak asing., Berdasarkan paradigma ini Islam telah
menetapkan politik ekonomi dan mekanisme ekonomi untuk menjamin kesejahteraan
umat manusia, sekaligus menjamin kemajuan serta pertumbuhan yang berkeadilan.
Sebagai sistem yang holistic
yang berkaitan erat dengan sistem yang lainnya, negara juga menerapkan sistem pendidikan Islam yang mampu
melahirkan SDM berkualitas dan terjangkau oleh semua, menerapkan sistem sosial
yang bersih, dan lain-lain. Dan untuk menjamin penegakkannya, negara juga wajib
menerapkan sistem hukum Islam (sistem uqubat) yang tegas, adil dan konsisten
berlandaskan ketaatan kepada Allah SWT sebagai Al-Hakim dan Al-Adil.
Terkait dengan sistem hukum Islam, tak sedikit
orang yang meragukan kemampuannya dalam mengentaskan berbagai kriminalitas yang
terjadi di masyarakat. Pandangan ini ‘wajar’, mengingat sistem hukum positif yang kini diterapkan dimanapun tak ada yang
mampu memberi solusi atas
merebaknya kriminalitas. Sehingga yang perlu dipahami adalah, ada perbedaan mendasar antara sistem hukum
positif dengan sistem hukum Islam. (1) Sistem hukum Islam bersumber dari Allah
SWT, Dzat Yang Maha Tahu hakekat kebaikan dan keburukan, Dzat Yang Menciptakan
Manusia secara keseluruhan, Dzat Yang Maha Adil dan Bijaksana, bukan berasal dari hasil daya pikir
manusia yang lemah. Karenanya, dipastikan bahwa sistem hukum ini bisa menjadi
solusi atas seluruh permasalahan –termasuk perdagangan perempuan--, bersifat
tetap dan pasti, serta memiliki perspektif yang menjamin keadilan bagi
siapapun, bukan hanya untuk laki-laki atau perempuan. (2) Sistem hukum Islam
hanya berpihak pada kebenaran dan keadilan, karena pelaksanaannya tegak di atas
landasan taqwa, bukan kepentingan pihak bermodal. (3) Hukum Islam berfungsi
sebagai zawajir (pencegah merebaknya
kejahatan karena sanksi yang sangat berat[1])
dan jawabir (penebus dosa, sehingga
tercegah dari siksa akhirat), sementara sistem hukum positif –secara teoritis--
hanya berfungsi sebagai pencegah saja, meski faktanya telah gagal mencegah
terjadinya pelanggaran-pelanggaran.
Khatimah
Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat mulai melirik dan
beralih kepada sistem yang telah terbukti selama belasan abad berhasil menjamin
kesejahteraan hakiki dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Yakni
sistem yang ditawarkan Islam yang menjadi satu-satunya versus bagi
kapitalisme-sekulerisme-liberalisme yang telah terbukti rusak, dan justru menjadi sebab mendasar dari berbagai kejahatan
terhadap wanita (trafficking).
Inilah arah perubahan yang seharusnya
diperjuangkan, termasuk oleh kalangan perempuan. Yakni mengajak masyarakat dan
pemerintah untuk bersegera keluar dari sistem Kapitalisme yang tak menjanjikan
apapun selain kerusakan. Kemudian kembali kepada sistem Islam yang dapat
mensejahterakan dan melindungi kaum perempuan dari kasus trafficking. Semua itu
dapat terwujud dengan tegaknya Daulah Khilafah ‘ala min haji nubuwwah.
Wallahu’alam
Comments :
0 komentar to “Trafficking, akankah terus menjadi ancaman?”
Posting Komentar