Pengertian Nilai
Istilah nilai (value)
menurut Kamus Poerwodarminto diartikan sebagai berikut.
- · Harga dalam arti taksiran, misalnya nilai emas.
- · Harga sesuatu, misalnya uang.
- · Angka, skor.
- · Kadar, mutu.
- · Sifat-sifat atau hal penting bagi kemanusiaan.
Beberapa pendapat
tentang pengertian nilai dapat diuraikan sebagai berikut.
- · Menurut Bambang daroeso, nilai adalah suatu kualitas atas penghargaan terhadap sesuatu, yang menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang.
- · Menurut Darji Darmodiharjo adalah kualitas atau keadaan yang bermanfaat bagi manusia baik lahir ataupun batin.
Sesuatu dianggap
bernilai, apabila sesuatu itu memiliki sifat sebagai berikut :
- · Menyenangkan
- · Berguna
- · Memuaskan
- · Menguntungkan
- · Menarik
- · Keyakinan
Ada dua pendapat
mengenai nilai. Pendapat pertama mengatakan bahwa nilai itu objektif, sedangkan
pendapat kedua mengatakan nilai itu subjektif.
Pengertian Moral
Moral berasal dari kata
bahasa latin yaitu mores yang berarti
adat kebiasaan. Kata mores ini mempunyai sinonim mos, moris, mannes mores,
morals.
Dalam Bahasa Indonesia,
kata moral berarti akhlak (Bahasa arab) atau kesusilaan yang mengandung makna
tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah
laku batin dalam hidup. Kata moral ini dalam bahasa yunani sama dengan ethos yang
menjadi etika. Secara etiomologis, etika adalah ajaran tentang baik-buruk, yang
diterima masyarakat umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya.
Dari beberapa pendapat
diatas, istilah moral dapat dipersamakan dengan istilah etika, etik,akhlak,
kesusilaan, dan budi pekerti. Dalam hubungannya dengan nilai, moral adalah
bagian dari nilai, yaitu nilai moral yang berkaitan dengan perilaku manusia
tentang baik-buruk.
Hakikat Nilai Moral
dalam Kehidupan Manusia
A. Nilai
dan Moral Sebagai Materi Pendidikan
Terdapat
beberapa bidang filsafat yang ada hubungannya dengan cara manusia mencari
hakikat sesuatu, satu di antaranya adalah aksiologi (filsafat nilai) yang
mempunyai dua kajian utama yakni estetika dan etika. Keduanya berbeda karena
estetika berhubungan dengan keindahan sedangkan etika berhubungan dengan baik
dan salah, namun karena manusia selalu berhubungan dengan masalah keindahan,
baik, dan buruk bahkan dengan persoalan-persoalan layak atau tidaknya sesuatu,
maka pembahasan etika dan estetika jauh melangkah ke depan meningkatkan
kemampuannya untuk mengkaji persoalan nilai dan moral tersebut sebagaimana
mestinya.
Jika
persoalan etika dan estetika ini diperluas ke kawasan pribadi, maka muncullah
persoalan apakah pihak lain atau orang lain dapat mencampuri urusan pribadi
orang tersebut? Seperti halnya jika seseorang menyukai masakan China, apakah
orang lain berhak menyangkal jika masakan China adalah masakan yang enak untuk
disantap dan melarang orang tersebut untuk mengkonsumsinya? Mungkin itu hanya
sebagian kecil persoalan ini, begitu kompleksnya persoalan nilai, maka
pembahasan hanya dibatasi hanya pada pembahasan etika saja. Menurut Bartens ada
tiga jenis makna etika, yaitu:
1.
Kata etika bisa dipakai
dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
2.
Etika berarti juga
kumpulan asas atau nilai moral (kode etik).
3.
Etika mempunyai arti ilmu
tentang yang baik dan yang buruk (filsafat moral).
Dalam
bidang pendidikan, ketiga pengertian di atas menjadi materi bahasannya, oleh
karena itu bukan hanya nilai moral individu yang dikaji, tetapi juga membahas
kode-kode etik yang menjadi patokan individu dalam kehidupan sosisalnya, yang
tentu saja karena manusia adalah makhluk sosial.
B. Nilai Moral
di Antara Pandangan Objektif dan Subjektif Manusia
Nilai
erat hubungannya dengan manusia, dalam hal etika maupun estetika. Manusia
sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua konteks, pertama
akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif, apabila dia memandang nilai
itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya. Kedua, memandang nilai sebagai
sesuatu yang subjektif, artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang
menilainya.
Dua kategori nilai itu
subjektif atau objektif:
Pertama,
apakah objek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau kita
mendambakannya karena objek itu memiliki nilai
Kedua,
apakah hasrat, kenikmatan, perhatian yang memberikan nilai pada objek, atau
kita mengalami preferensi karena kenyataan bahwa objek tersebut memiliki nilai
mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan organis kita (Frondizi, 2001,
hlm. 19-24).
C. Nilai
di Antara Kualitas Primer dan Kualitas Sekunder
Kualitas primer yaitu kualitas dasar yang
tanpanya objek tidak dapat menjadi ada, sama seperi kebutuhan primer yang harus
ada sebagai syarat hidup manusia, sedangkan kualitas sekunder merupakan
kualitas yang dapat ditangkap oleh pancaindera seperti warna, rasa, bau, dan
sebagainya, jadi kualitas sekunder seperti halnya kualitas sampingan yang
memberikan nilai lebih terhadap sesuatu yang dijadikan objek penilaian
kualitasnya.
Perbedaan antara kedua
kualitas ini adalah pada keniscayaannya, kualitas primer harus ada dan tidak
bisa ditawar lagi, sedangkan kualitas sekunder bagian eksistesi objek tetapi
kehadirannya tergantung subjek penilai. Nilai bukan kualitas primer maupun
sekunder sebab nilai tidak menambah atau memberi eksistensi objek. Nilai bukan
sebuah keniscayaan bagi esensi objek. Nilai bukan benda atau unsur benda,
melainkan sifat, kualitas, yang dimiliki objek tertentu yang dikatakan “baik”.
Nilai milik semua objek, nilai tidaklah independen yakni tidak memiliki
kesubstantifan.
D. Metode
Menemukan dan Hierarki Nilai dalam Pendidikan
Menilai
berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu
yang lain, yang selanjutnya diambil sebuah keputusan, nilai memiliki polaritas
dan hierarki, yaitu:
1.
Nilai menampilkan diri
dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai (polaritas) seperti baik dan
buruk, keindahan dan kejelekan.
2.
Nilai tersusun secara
hierarkis, yaitu hierarki urutan pentingnya.
Ada beberapa klasifikasi nilai yaitu
klasifikasi nilai yang didasarkan atas pengakuan, objek yang dipermasalahkan,
keuntungan yang diperoleh, tujuan yang akan dicapai, hubungan antara
pengembangan nilai dengan keuntungan, dan hubungan yang dihasilkan nilai itu
sendiri dengan hal lain yang lebih baik. Sedangkan Max Scheller berpendapat
bahwa hierarki terdiri dari, nilai kenikmatan, kehidupan, kejiwaan, dan nilai
kerohanian. Dan masih banyak lagi klasifikasi lainnya dari para pakar, namun
adapula pembagian hierarki di Indonesia (khususnya pada masa dekade Penataran
P4), yakni, nilai dasar, nilai instrumental, dan yang terakhir nilai praksis.
E. Makna Nilai
bagi Manusia
Nilai itu penting bagi
manusia, apakah nilai itu dipandang dapat mendorong manusia karena dianggap
berada dalam diri manusia atau nilai itu menarik manusia karena ada di luar
manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang sebagai
kegiatan menilai.Nilai itu harus jelas, harus semakin
diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam perbuatan.
Manusia
dan Hukum serta hubungannya dengan moral
A. Manusia
dan Hukum
Hukum
dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin
menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia,
masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk
mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam
pergaulan antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar
kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan mempertegas
lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.
Hukum
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law)
dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Manusia
dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu
hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di
mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap
pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu
akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai
komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen
perekat” tersebut adalah hukum.
Untuk
mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk suatu struktur tatanan
(organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial
(social order) yang bernama: m a s y a r a k a t. Guna membangun dan
mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia
membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si
pengatur(kekuasaan).
B. Hubungan
Hukum dengan Moral
Hukum
tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas.
Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral dan
perundang-undangan yang immoral harus diganti.
Meskipun
hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda,
sebab dalam kenyataannya mungkin ada hukum yang bertentangan dengan moral atau
ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan antara
hukum dengan moral.
K.
Bertens menyatakan ada setidaknya empat perbedaan antara hukum dan moral,
pertama, hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas (hukum lebih dibukukan
daripada moral), kedua, meski hukum dan moral mengatur tingkah laku manusia,
namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral
menyangkut juga sikap bathin seseorang, ketiga, sanksi yang berkaitan dengan
hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas, keempat, hukum
didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara sedangkan
moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu dan
masyarakat.
Comments :
0 komentar to “Manusia, Nilai, Moral dan Hukum”
Posting Komentar