Blog ini adalah blog kenangan dari kelasku, GEZONE..
Blog untuk berbagi ilmu, berbagi cerita, berbagi banyak hal untuk kita semua ^_^
Love U.... ~~~ Nena ~~~

Selasa, 21 Oktober 2014

Cerpen : Pamit (1)

 Keputusasaan melangkah dan sayatan kekecewaan begitu mendalam menembus rasa dalam hati. Meskipun tidak tampak, akan tetapi tangisan dalam hati dan kegoncangan batin selalu menemani dan membayangi. Memandang ke arah belakang, membuat kepiluan semakin teriris. Memandang ke depan, membuat kekhawatiran dan rasa was-was memenuhi pandangan dan perasaan. Butuh pengakuan yang tulus untuk menyatakan, bahwaketidaksanggupan adalah jawabannya.
Berpisah itu bukan solusi yang tepat. Tekadmasih berbentuk kotak. Bentuk bulat belum tercipta. Masih ada waktu,mematangkan keinginan sebelum ditumpahkan ke dalam sebuah mangkok untukdisajikan. Bermula dari candaan Fatih, Fahira sangat tersinggung luar biasa.Tangisan wanita itu mengalir deras taktala lelaki yang dicintainya menyinggungtentang masalah anak. Tiga tahun lalu, setelah pernikahan mereka, Fahira divonis tidak akan bisa hamil oleh dokter spesialis keluarganya. Fatih menguncikesedihannya bertahun-tahun dari istrinya, hanya saja semua itu berhasildisembunyikan oleh Fatih. Sebelum akhirnya semuanya terbongkar, bahwa ia sangat mengharapkan kehadiran buah hati dari Fahira. Tapi, apadaya, kondisi Fahiratidak akan pernah memungkinkan untuk mempunyai seorang anak. Fatih bersikeras untuk tegar dan mempertahankan rumah tangganya. Tapi Fahira tidak mau mengorbankan kebahagiaan suaminya.

            “Mas, aku tidak mau membuat gusar hati mas. Mas berhak bahagia, aku rela.” tangisan Fahira tak dapat terbendung
            “Sayang, dengarkan aku. Aku bahagia bersamamu.Percayalah, jika kita yakin, semuanya bisa kita atasi.” ucapnya sambil menenangkan dan memegang kedua pundak istrinya
            “Tapi mas, jika mas membuka kisah hidup baru, aku yakin mas akan bahagia. Semuanya akan terpenuhi, keinginan mas untuk mempunyai anak akan segera terwujud.” dengan sedikit berteriak wanita itu membalikkan badannyadan beranjak dari kasur, ia tak bisa menahan emosinya
            “Sayang, sudahlah tak usah diungkit-ungkit lagi. Maafkan mas,sayang. Bukan maksud hati menyinggungmu. Hanya letupan yang sempat tertahan.Dan sekarang, ia sudah mereda. Maafkan mas.” Fatih menghampiri istrinya dan membalikkan badan istrinya dengan perlahan
            “Mas, kita sudah bertahun-tahun berumah tangga. Sampai kapan mas bisa bertahan memendam keinginan besar ini. Jika cepat dapat memudahkan untuk mewujudkannya, mengapa tidak?.” Ia berbalik badan dan menatapsuaminya dengan deraian air mata

            Sungguh, bukan ingin Fahira untuk bercerai dari suaminya.Ia menumpukan hidupnya di atas cinta suaminya. Hingga akhir waktu. Tekad yang membalut untuk bahagia, telah dirasakannya beberapa tahun terakhir. Ia merasakan kombinasi kekecewaan yang berbuah luapan emosi yang tak terbendung.Cintanya yang besar dan kelapangan hatinya, ia tidak mau menyengsarakan batindan hati lelaki yang sangat ia kasihi. Tapi, magnet telah terekat erat, tak adakutub yang berlainan di hatinya. Terpaut semakin dalam. Bahkan, bisa lebih dariitu.

            “Apa tidak cukup bukti bahwa mas sangat mencintaimu?tidak cukup? jawab sayang, jawab!” ucapnya lembut seraya memegang wajah lembutFahira
           
           Fahira menangis pilu di pelukan suaminya. Tak ada lagi kalimat yang terlontar dari bibirnya. Fatih hanya bisa menatap foto pernikahan bahagia mereka dengan hati yang berlinang. Senyuman merekah yang tampakmendominasi bingkai foto pernikahan berbanding terbalik dengan situasi yang sedang mereka alami saat ini. Wanita cantik itu belum menghentikan tangisnya,Fatih belum sanggup untuk melepaskan pelukan istrinya. Hening malam mengitarimereka yang sedang terkubur kesedihan. Seakan memberikan tanda, langit pekat merintikkan hujannya. Hujan deras disertai petir menyambar memberikan suasanasemakin dramatis. Air mata Fahira sudah mengering, ia terlelap di pelukansuaminya. Lelaki penyayang itu segera membaringkannya seraya mencium kening istrinya dengan penuh haru dan kelembutan. Fatih beranjak duduk di sofa danmenatap istrinya dengan penuh pengharapan. Tidak ingin dan tidak akanterpisahkan. Ia percaya kehendak Allah. Jika Dia berkehendak, halangan apapuntidak akan bisa menahan-Nya.

            “Istriku, bertahanlah. Aku mencintaimu.” itulah kalimatterakhir yang terucap di malam yang menggoreskan luka didua hati yang salingmencintai. 

            Fatih memutuskan untuk mengikuti langkah istrinya. Cukup lelah dirasakannya setelah tiga tahun menyembunyikan keinginan besar hatinya.Ia memejamkan mata. Terlelap dalam tidurnya. Lelapnya dihiasi keindahanbunga-bunga mimpi. Meskipun tidak mempunyai seorang anak, mereka hidup rukundan selalu bahagia. Gaun putih yang dikenakan Fahira membuat senyumannyasemakin sempurna. Sama seperti di hari pernikahan mereka. Bahkan lebih indahdan menawan. Kaca besar yang terpampang di depan Fatih, memantulkan bayangangagah dirinya dengan mengenakan jas putih bercampur motif perak. Sepertipangeran yang siap melindungi sang putri. Fatih meraih tangan Fahira dan melangkah bersama dengan senyuman yang tersungging tulus. 

***

            Perasaankeduanya mereda. Tapi menjadi jauh. Dingin. Beku dan kaku. Hari ini adalahminggu redup bagi dua insan seatap ini. Tapi Fatih, menampakkan wajah sepertibiasa, senyum tanpa beban. Dan sesungguhnya ia sedang bertarung dengankejujuran hatinya saat ini. Sedangkan Fahira, wajahnya muram. Di ruangan besardan fasilitas yang memadai, ia bergerak tanpa kata. Menganggap patung suaminya.Fahira bergegas untuk menghadiri acara arisan bersama teman-temannya. Mayoritas sudah menikah. Wanita berkulit putih itu berniat untuk menyegarkan kembali keadaan hatinya dengan berkumpul dan bercanda ria bersama teman-temannya. Tanpa meninggalkan pesan satu kata pun, ia pergi begitu saja. Fatih sadar, istrinyatak menghiraukan keberadaannya. Biasanya, Mang Jajang selalu mengantarkan Fahira kemana-mana. Tapi pagi ini, ia langsung memacu mobilnya. Tak disangka,ketika sampai, ia melihat meja-meja cafe yang sudah disusun sedemikian rupa,penuh dengan riang tawa anak-anak. Mereka membawa anak-anaknya. Hatinya terguncang. Pikirannya seketika buyar. Langkahnya gontai. Ia tak kuasamendekati kumpulan wanita-wanita modis itu. Padahal, sebelum-sebelumnya, merekatak pernah membawa anak-anaknya. Ia tidak mendapat pemberitahuan. Mereka tidakmemberitahu Fahira, karena percuma, ia tidak mempunyai anak satupun. Wanita itu berbalik arah,teriakan memanggil namanya tidak ia hiraukan. Ia pulang dengan membawa sejumlah kesedihan. Ia duduk di sofa ruang tamu. Menunduk. Menangis tak berdaya. Iatertekan, bahkan depresi. Psikisnya memprihatinkan, bayang-bayang mungil mendera pikirannya, tangisan-tangisan nyaring bersarang di telinganya. 

YaAllah.. Mengapa kau buat aku seperti ini. Inikah jalanku? Jalan yang harus kutempuh dengan berbagai tekanan?
Teriaknya dalam hati.Tidak sampai disitu, ia tertegun dengan tatapan kosong setelah membaca satupesan dari ibunya :
“AnakkuFahira, ibu bermimpi menggendong cucu yang sangat menggemaskan. Bayi mungil ituadalah anak kalian. Ibu sangat bahagia. Ibu sungguh mengharapkan cucu darikalian. Ibu merindukan tangisan bayi. Ibu harap, kalian segera mendapatkanmomongan. Aamiin.”

        Tangannya seketika lemas. Handphone yang dipegangnya jatuh hingga berserakan. Air matanya mengalir tiada henti. Sedangkan di sana, ibunya tersenyum ketika membayangkandapat menggendong buah hati dari Fahira dan Fatih. Di hadapan suaminya, wanitayang tengah tertekan itu berpura-pura tegar. Dia tidak mau menampakkan bahwadirinya sedang tertekan. Tapi usahanya sia-sia. Sembab di wajahnya terlihatbegitu jelas. Fahira teringat pembicaraan bersama sahabatnya beberapa waktulalu. Pembicaraan yang dinilai hanya candaan temannya, sekarang telah menjadi keseriusan di benak  Fahira. Wanitaberparas cantik itu langsung menghubungi sahabatnya lewat blackberry messenger.Kepastiannya, Fahira akan berangkat ke luar kota. Ia berniat untuk meminta izin kepada suaminya. Langkahnya senyap, tak bersuara. Ditambah ruangan kerja Fatihyang dipenuhi suara musik yang bervolume cukup tinggi. Ia sudah berada dihadapan suaminya. Mulutnya terkunci. Tatapannya datar. Menatap kosong Fatihyang sedang fokus menunduk menata berkasnya. Seakan raganya belum lengkap,karena sebagian jiwa positifnya sedang terlelap, tertimbun tumpukkan kesedihan. 

            “Ya Allah! Sayang, kamu bikin kaget mas.” Ia tersentakdan kaget melihat kondisi istrinya yang tidak salah lagi, sedang dirundung masalah
            Istrinya tak bergeming. Diam sejenak. Seakan sulit memuntahkan kata jujur. Bohong pun ia tak kuasa. Ia tidak menjawab. Melamun dengan tatapan kosong penuh tekanan. Matanya sembab, bibirnya membeku. Tangankanannya meremas sesuatu. Secarik kertas yang sudah lusuh.
            “Sayang, ada apalagi denganmu? Ada masalah denganteman-temanmu? Bukankah seharusnya keadaanmu tidak seperti sekarang ini?” Fatihmendekati istrinya 

            Fahira menyodorkan kertas lusuh yang bertuliskan “Izin bertemu sahabat di Yogyakarta”.Kebiasaan yang sudah terlalu sulit untuk dihilangkan. Jika sedang dirundung masalah, ia berbicara lewat tulisan. Fatih memaklumi dan langsung mengangguk pelan. Mengizinkannya pergi ke Yogyakarta. Sejak kejadian malam itu, Fatihmenjadi semakin hati-hati jika berkomunikasi dengan istrinya. Fahira terlampausensitif akhir-akhir ini. Fatih tidak ingin membuat hati istrinya terluka. Iaingin menjadi sosok pelindung bagi istrinya. Imam yang baik dalam rumah tangga.Ia berharap, tidak ada yang disembunyikan diantara keduanya. Akan tetapi lelakir amah itu tidak mengetahui, ada maksud lain mengenai keberangkatan istrinya keKota Yogyakarta. Bersambung.... (M. Fauzi Amirulloh)

Comments :

0 komentar to “Cerpen : Pamit (1)”


Posting Komentar